Sistem Ekonomi Pancasila Melarang Adanya Praktek Monopoli

Jika kita menyebutkan kata ‘monopoli’ terbayang dalam benak kita adanya seorang atau sekelompok orang yang menguasai suatu bidang tertentu secara mutlak tanpa memberikan kesempatan kepada pihak lain untuk ikut ambil bagian. Dengan monopoli suatu bidang, berarti terbuka kesempatan untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya bagi kepentingan kantong sendiri.

 

Pengertian Monopoli Dalam Peraturan Perundangan

Disini monopoli diartikan sebagai kekuasaan menentukan harga, kualitas dan kuantitas produk yang ditawarkan kepada masyarakat. Masyarakat tidak pernah diberi kesempatan untuk menentukan pilihan, baik mengenai harga, mutu maupun jumlah. Kalau mau silakan dan kalau tidak mau tidak ada pilihan lain.

Itulah citra kurang baik yang ditimbulkan oleh keserakahan pihak tertentu yang memonopoli suatu bidang. Adanya persaingan tersebut mengakibatkan lahirnya perusahaan-perusahaan yang secara naluriah ingin mengalahkan pesaing-pesaingnya agar menjadi yang paling besar, paling hebat dan paling kaya.

Di Indonesia, dengan sistem ekonomi Pancasila secara implisit justru mengakui adanya monopoli oleh Negara, yaitu terdapat dalam pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 , Suatu pasar dikatakan terjadi monopoli apabila : pelaku usaha sebagai price maker mutlak; tidak ada persaingan; adanya entry barrier bagi pelaku usaha lain yang ingin masuk pasar yang sudah di monopoli.

Dengan demikian, praktik monopoli akan menguasai pangsa pasar secara mutlak sehingga pihak-pihak lain tidak memiliki kesempatan lagi untuk berperan serta.

Gambaran Umum Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Berbicara mengenai monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, maka hal yang perlu menjadi perhatian adalah siapa pelaku usaha, siapa konsumen serta apa produk barang dan jasa. Pelaku usaha adalah setiap orang atau badan usaha , baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.

Konsumen adalah setiap pemakai dan atau pengguna barang dan atau jasa baik untuk kepentingan diri sendiri maupun orang lain. Barang adalah setiap benda yang berwujud maupun tidak berwujud; bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha. Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha .

Bentuk penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku atau satu kelompok pelaku usaha (pasal 1 ayat (1) UU No.5/1999). Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasaninya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan merugikan kepentingan umum. (pasal 1 ayat (2) UU No. 5/1999).

Dalam hukum nasional, masalah monopoli dan persaingan usaha tidak sehat diatur didalam UU No. 5 tahun 1999. Dasar pertimbangan lahirnya undang-undang ini:

  1. Bahwa pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat berdasarkan pancasila dan UUD 45.
  2. Bahwa demokrasi dalam bidang ekonomi menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga Negara untuk berpartisipasi didalam proses produksi dan pemasaran barang dan jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan efesien sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar.
  3. Bahwa setiap orang yang berusaha diindonesia harus berada dan situasi persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu, dengan tidak terlepas dari kesepakatan yang telah dilaksanakan oleh Negara RI terhadap perjanjian-perjanjian internasional.
  4. Bahwa untuk mewujudkan sebagaimana yang dimaksud dalam huruf a, b, dan c, atas usul inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Perlu disusun.

Dengan demikian filosofi dikeluarkannya UU ini yang paling prinsip adalah untuk mengatur jalannya demokrasi dibidang ekonomi agar semua warga negara diberi kesempatan untuk melalukan usaha. Disamping itu juga untuk menciptakan situasi yang kondusif demi terciptanya persaingan yang sehat dan wajar sehingga tidak menimbulkan pemusatan kekuatan ekonomi hanya pada pelaku usaha tertentu.

Dengan kata lain undang-undang ini berupaya mengantisipasi agar dalam dunia usaha tidak terjadi praktik monopoli dan menciptakan iklim usaha yang sehat .

Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Monopoli umumnya mengacu pada penguaasaan terhadap penawaran dan harga. Monopoli sempurna terlihat apabila sebuah perusahaan tunggal memproduksi suatu komoditas yang tidak di keluarkan oeh perusahaan lainnya. Dengan demikian, dalam kondisi yang demikian itu elastisilas permintaan silan sebuah perusahaan monopoli adala kecil sekali.

Perbedaan antara monopoli dengan bentuk persaingan lain adalah bahwa monopoli dapat menetapkan harga pasar untuk hasil produksinya, karena ia adalah produsen tunggal untuk jenis barang tersebut. Karena termotivasi untuk memaksimumkan keuntungan ia akan menetapkan Harga barang menurut kehendaknya dan menentukan agar pasar penjualan suatu jumlah barang dengan Harga tertentu bisa mengasilkan keuntungan bersih yang maksimum .

Contoh konkret tentang pratek monopoli antara lain kasus Badan penyangga dan pemasaran cengkeh (BPPC) yang dikenal dalam era 1990-an. Praktek tata niaga cengke ini mungkin tidak terkenal kalau saja Tommy Soeharto tidak mengambi langkah controversial yakni mendirikan BPPC yang didirikan pemerintah berdasarkan keppres Nomor 20 tahun 1992.

Ide pokok badan ini adalah untuk menjaga stabilitas dan kewajaran harga cengkeh agar tidak merugikan petani. Namun dalam prekteknya, badan ini ternyata melakukan monopoli pembelian dan pemasaran cengkeh yang justru menimbulkan dampak negative bagi para petani.

Sebelum BPPC berdiri komoditas ini masih mampu mencapai kisaran harga Rp. 9.000 – Rp.15.000 per kilo gram. Saat itu komoditas ini arganya sudah menurun di bandingkan dengan di masa keemasannya. Setela BPPC berdiri, tingkat harga sebesar itu justru sulit di capai kembali. BPPC mematok harga rata-rata sebesar Rp. 7.900 per kilo gram. Kendati demikian, dengan harga itu petani hanya memperoleh Rp. 4.000. Sisanya, Rp. 1.900 diperlukan sebagai sumbangan wajib Kusus petani yang akan diserahkan kepada petani setelah cengkehnya terjual.

Sedangkan yang Rp. 2.000 lagi sebagai biaya penyusutan, digunakan untuk modal koperasi. Patokan harga itu mau tidak mau harus di ikuti petani, mengingat tidak di perkenankannya petani menjual cengkahnya kepada pihak lain. Disisi lain, dengan kewenangan praktik monopoli pembelian, BPPC otomatis menguasai penjualan cengkeh kepada pabrik-pabrik rokok, dengan harga rata-rata Rp. 11.500 per kilogram. Kalau kebutuhan rata-rata cengkeh dalam negeri mencapai 90.000 ton per tahun, dapat dibayangkan berapa besar keuntungan yang diperoleh BPPC.

Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Menurut Pandangan Hukum Islam

Sejak 15 abad yang lalu, Nabi Muhammad saw telah mengharamkan perilaku monopoli . Nabi bersabda : “barang siapa melakukan monopoli, maka ia bersalah, berdosa” (HR Muslim dari Mu’amar bin Abdillah).

Perilaku monopoli termasuk perbuatan sewenang-wenang dalam menggunakan hak (al-ta’ssuf fi al-isti’mal al-haq). Karena untuk mewujudkan keuntungan pribadi, seorang pelaku monopoli telah menyebabkan timbulnya kerugian yang besar pada hak publik (haq al jama’ah), masyarakat.

Islam, memiliki nilai-nilai prinsipil terhadap semua aktivitas kehidupan, begitu juga terhadap aktivitas kehidupan ekonomi kita. Tujuan aktivitas ekonomi dalam Islam adalah : mewujudkan kesejahteraan ekonomi dalam kerangka moral Islam (QS 2 : 6, 168:87, 62:10); mewujudkan persaudaraan dan keadilan universal (QS 7 : 158); terwujudnya pendapatan dan kekayaan yang merata dan adil (QS 6 : 165, 16 : 71) dan; terwujudnya kebebasan individual dalam konteks kemashlahatan sosial (QS 13 : 36, 31 : 22).

Dengan demikian aktivitas ekonomi dalam Islam harus diawali dari keyakinan normative terhadap kelangsungan dalam mengolah, memproduksi, memasarkan dan memanfaatkan nilai ekonomis demi pemenuhan kebutuhan hajat hidup bersama.