Sejarah Nasionalisme di Indonesia

Transformasi politik di kawasan Asia dan Afrika pasca-Perang Dunia II memiliki kecenderungan berupa faham sosialisme yang cukup mendominasi. India, Birma, bahkan Indonesia sekalipun memiliki unsur sosialisme yang sangat kental di dalam pergerakan nasionalismenya . Di India, pemerintahan Pandit Jawaharlal Nehru yang berlangsung pada masa awal kemerdekaan India sangat bernuansa sosialis demekian pula Birma, unsure komunisme berperan cukup besar.

 

Mayoritas kursi pemerintahan Birma oleh orang-orang berpemikiran sosialisme-komunisme. Di Indonesia, faham komunisme berkembang dengan dibentuknya Partai Komunis Indonesia pada masa pergerakan nasional, tetapi surut pada masa pendudukan Jepang. Gerakan komunis muncul lagi pasa Perang Dunia II ketika terjadi pemberontakan komunis pada 1948 di Madiun.

Versi sejarah yang sekian lama diakui menetapkan bahwa perlawanan politik pertama adalah pembentukan organisasi yang dikenal dengan Boedi Oetomo (Budi Utomo) pada 20 Mei 1908, peristiwa itu diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Agaknya versi ini layak ditinjau ulang, Boedi Oetomo sesungguhnya tidak mencerminkan kebangsaan tetapi kesukuan.

Organisasi tersebut membatasi keanggotaannya hanya untuk suku Jawa dan Madura serta lapisan elit pula. Penulis cenderung berpendapat bahwa organisasi yang cocok dinilai berskala nasional adalah Jamiyyatul Khairiyyah. Walaupun para pembentuknya adalah keturunan Arab tetapi terbuka untuk kaum Muslim, umat mayoritas di Indonesia. Lagi pula dibentuk lebih dahulu dari Boedi Oetomo yaitu tahun 1901.

Pembentukan organisasi dengan berbagai faham atau bidang segera terjadi, antara lain Serikat Dagang Islam (kelak Partai Syarikat Islam Indonesia), Indische Partij, Muhammmadiyah, Nahdhatul ‘Ulama, Partai Nasional Indonesia, Perhimpunan Indonesia, Partai Komunis Indonesia, dan lain-lain.

Di kalangan orang Belanda ternyata ada perselisihan pendapat tentang memperlakukan Indonesia di masa depan. Ada suara-suara yang menginginkan hubungan Belanda dengan wilayah jajahannya terutama Indonesia berubah lebih manusiawi dibanding sebelumnya. Pendapat tersebut memiliki dasar bahwa Belanda telah sangat berhutang budi kepada Indonesia, Belanda telah mengambil banyak dari Indonesia sekaligus nyaris tidak memberi apapun.

Berbagai perangkat mengalir dari Belanda ke Indonesia, dan berbagai proyek untuk membenahi taraf hidup rakyat diwujudkan semisal pembangunan sekolah, irigasi, telekomunikasi dan sebagainya. Pendidikan kelak menghasilkan lapisan masyarakat terdidik yang justru kurang diinginkan oleh tatanan kolonial, karena kelak para intelek tersebut akan membangkitkan kesadaran rakyat jajahan untuk menuntut hak.

Seiring waktu berjalan, gerakan politik anti kolonial kelak terbagi berdasar suku, daerah dan agama. Tetapi ada tiga kelompok besar gerakan tersebut yaitu nasionalis, agamis dan komunis, mereka menjadi campuran dahsyat sekaligus goyah melawan kolonial. Setelah proses dekolonisasi selesai, perpecahan antara tiga kelompok tersebut semakin hebat.

Dari kelompok nasionalis sangat dikenal Partai Nasional Indonesia, partai ini dibentuk tahun 1927 oleh Soekarno (1901-1970), yang kelak presiden pertama Republik Indonesia (1945-1967). Dari kelompok agamis sangat dikenal Partai Syarikat Islam Indonesia dengan tokoh kharismatis (walaupun bukan pembentuk) yaitu Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Dari kelompok komunis agaknya cuma ada satu organisasi yaitu Partai Komunis Indonesia dengan tokoh terkemuka Semaoen, Alimin dan Muso.

Kebangkitan nasional tidak terlepas dari suasana internasional. Awal abad ke-20 dunia Timur bangkit melawan keunggulan Barat. Jepang misalnya, dengan sigap melaksanakan modernisasi yang dikenal dengan Restorasi Meiji sehingga terhindar dari penjajahan Barat. Pada awal abad ke-20 hasilnya dapat dirasakan, sekitar 90 persen warga Jepang melek huruf. Jepang pulalah yang mengejutkan dunia dengan kemenangannya melawan Rusia dalam Perang Rusia-Jepang (1904-1905).

Perang tersebut dianggap sebagai konflik besar pertama abad ke-20, Jepang telah membuktikan bahwa Barat dapat dikalahkan. Gerakan Wahhabiy di Arabia sejak abad ke-18 masuk ke Indonesia dan sempat mengobarkan Perang Paderi (1821-1837) di Sumatera dan pembentukan Muhammadiyah di Jawa. Faham Wahhabiy memurnikan pemahaman dan pengamalan Islam dari berbagai faham yang bertentangan semisal tahyul, bid’ah, churafat (kini khurafat) dan syirik.

Demikian sekilas uraian kebangkitan di luar negeri yang sedikit banyak mempengaruhi bangsa Indonesia untuk bangkit sebagai bagian kebangkitan besar Timur. Pelajaran yang dapat diambil dari periode penjajahan adalah kelengahan akibat prestasi panjang nyaris selama 7000 tahun berakibat kecolongan oleh Barat. Untuk pertama kalinya, Timur mengalami keterputusan masa jaya sejak awal abad ke-19. Ketertinggalan itulah yang dicoba untuk dikejar oleh Timur sejak awal abad ke-20.

Usaha meraih titik temu antara kepentingan nasional Indonesia dengan kepentingan kolonial Belanda pernah terjadi dengan pembentukan “Gapi” (Gabungan Politik Indonesia) tahun 1939. Gerakan tersebut mengusulkan kepada pemerintah Belanda untuk memberi hak membentuk parlemen Indonesia atau tegasnya pemerintahan Indonesia di dalam lingkungan Kerajaan Belanda, namun rezim kolonial menolak.

Indonesia terlalu berharga untuk diberi hak mengatur diri sendiri walaupun masih dalam lingkup kerajaan karena tatanan kolonial yang menempatkan secara tegas Belanda sebagai majikan dan Indonesia sebagai pelayan sangat menguntungkan Belanda. Belanda justru makin memperketat pengawasan para aktivis kemerdekaan mengingat dunia di ambang perang besar yang disebut “Perang Dunia II”. Jerman nampak bernafsu menaklukan Eropa (tentu termasuk Belanda) dan Jepang nampak bernafsu menaklukan Asia (tentu termasuk Indonesia).