Sejarah Kelahiran Dan Perkembangan Antropologi

Antropologi berasal dari kata anthropos yang berarti manusia, dan logos yang berarti ilmu. Menurut Haviland (1994;7) antropogi adalah studi tentang umat manusia yang berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan prilakunya, dan untuk memperoleh pengertian yang lengkap mengenai keanekaragaman manusia. Dalam pengertian studi yang mempelajari manusia, antropologi menurut Embaer (1985:2) dapat bersifat akurat atau tidak akurat.

 

Para ahli antropologi tertarik untuk mempelajari kapan, dimana, dan bagaimana manusia pada mulanya muncul di bumi, selaian itu mereka juga mempelajari beraneka ragam ciri-ciri fisik manusia. Para ahliantropolgi juga tertarik untuk mempelajari bagaimana dan mengapa suatu masyarakat memilki pemikiran dan kebiasaan pada masa lampau dan masa kini.

Ketidak akuratan pengertian sebagaimana pembagian diatas juga muncul karena dengan pengertian tersebut antropolgi dapat digabungkan denngan disiplin ilmu manusia lainnya seperti sosiologi, psikologi, ilmu politik, ekonomi, sejarah, biologi manusia, dan bahkan dapat digabungkan dengan disiplin humanistic seperti filsafat dan sastra.

Banyaknya disiplin lain yang juga memiliki perhatian dengan permasalahan manusia, tentu tidak akan merasa senang bila diterima sebagai sebagian atau cabang ilmu antropolgi. Memang kebanyakan dari ilmu-ilmu tersebut sudah terpisahkan sebagai disiplin sendiri lebih lama dari antropologi, dan masing-masing mempertimbangkan wilayah kajian mereka untuk menjadi berbeda dari yang lain.

Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan Ilmu Antropologi

Sejarah perkembangan Antropologi menurut Koentjaraningrat (1996:1-3) terdiri dari empat fase, yaitu:

Fase Pertama (Sebelum 1800)

Sejak akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16, suku-suku bangsa di benua Asia, Afrika, Amerika, dan Oseania mulai kedatangan orang-orang Eropa Barat selam kurang lebih 4 abad. Orang-orang eropa tersebut, yang antara lain terdiri dari para musafir, pelaut, pendeta, kaum nasrani, maupun para pegawai pemerintahan jajahan, mulai menerbitkan buku-buku kisah perjalanan, laporan dan lain-lain yang mendeskripsikan kondisi dari bangsa-bangsa yang mereka kunjungi. Deskripsi tersebut berupa adat istiadat, susunan masyarakat, bahasa, atau cirri-ciri fisik. Deskripsi tersebut kemudian disebut sebagai “etnografi” (dari kata etnos berarti bahasa.

Fase kedua (kira-kira Pertengahan Abad ke-19)

Pada awal abad ke-19, ada usaha-usaha untuk mengintegrasikan secara serius beerapa karangan-karangan yang membahas masyarakat dan kebudayaan di dunia pada berbagai tingkat evolusi. Masyarakat dan kebudayaan di dunia tersebut mentangkut masyarakat yang dianggap “primitiv” yang tingkat evolusinya sangat lambat, maupun masyarakat yang tingkatannya sudah dianggap maju. Pada sekitar 1860, lahirlah antropologi setelah terdapat bebarapa karangan yang mengklasifikasikan bahan-bahan mengenai berbagai kebudayaan di dunia dalam berbagai tingkat evolusi.

Fase Ketiga ( Awal Abad ke-20)

Pada awal abad ke-20, sebagian besar Negara penjajah di Eropa berhasil memantapkan kekuasaannya di daerah-daerah jajahan mereka. Dalam era colonial tersebut, ilmu Antropologi menjadi semakin penting bagi kepentingan kolonialisme.

Pada fase ini dimulai ada anggapan bahwa mempelajari bangsa-bangsa non Eropa ternyata makin penting karena masyarakat tersebut pada umumnya belum sekompleks bangsa-bangsa Eropa. Dengan pemahaman mengenai masyarakat yang tidak kompleks, maka hal itu akan menambah pemahaman tentang masyarakat yang kompleks.

Fase Keempat (Sesudah Kira-kira 1930)

Pada fase ini, antropologi berkembang pesat dan lebih berorientasi akademik. Penembangannya meliputu ketelitian bahan pengetahuannya maupun metode-metode ilmiahnya. Di lain pihak muncul pula sikap anti kolonialisme dan gejala makin berkurangnya bangsa-bangsa primitive (yaitu bangsa-bangsa yang tidak memperoleh pengaruh kebudayaan Eropa-Amerika) setelahPerang Dunia II.

Menyebabkan bahwa antropologi kemudian seolah-olah kehilangan lapangan. Oleh karena itu sasaran dan objek penelitian para ahli antropologi sejak tahun 1930 telah beralih dari suku-suku bangsa primitiv non Eropa kepada penduduk pedesaan, termasuk daerah-daerah pedesaan Eropa dan Amerika. Secara akademik perkembangan antropologi pada fase ini ditandai dengan symposium internasional pada tahun 1950-an, guna membahas tujuan dan ruang lingkup antropologi oleh para ahli dari Amerika dan Eropa.

Pada fase keempat ini antropologi memiliki dua tujuan utama:

1. Tujuan Akademis, untuk mencapai pemahaman tentang manusia berdasarkan bentuk fisiknya, masyarakatnya, maupun kebudayaannya.

2. Tujuan Praktis, untuk kepentingan pembangunan

Lahirnya Ilmu Antropologi

Antropologi adalah suatu ilmu sosial yang pemaparannya mengenai sejarah pembentukan antropologi tetap penting dibicarakan. Kebanyakan antropolog sependapat bahwa antropologi muncul sebagai suatu cabang keilmuan yang jelas batasannya pada sekitar pertengahan abad kesembilan belas, tatkala perhatian orang pada evolusi manusia berkembang.

Setiap antropolog dan ahli sejarah memiliki alas an sendiri-sendiri untuk menetukan kapan antropologi dimulai. Dari sudut pandang “sejarah gagasan”, tulisan-tulisan filsuf, dan peziarah Yunani, sejarawan Arab kuno, peziarah Eropa kuno, maupun masa renaisans, dan filsuf, ahli hukum, ilmuwan berbagai bidang dari Eropa, semuanya bisa dianggap pendorong bagi dibangunnya tradisi antropologi.

Sebagai contoh, Alan Bernand (2000) berpendapat bahwa kelahiran antropologi adalah ketika konsep “kontrak sosial” lahir, dan persepsi mengenai hakikat manusia, masyarakat dan keanekaragaman kebudayaan tumbuh dari konsep “kontrak sosial” tersebut. Gagasan ini dalam beberapa hal adalah pelopor dalam teori evolusi.

Perdebatan pada abad ke 18 mengenai asal usul bahasa dan mengenai hubungan antara manusia dengan apa yang kita sebut primate yang lebih tinggi juga relevan, seperti halnya perdeatan pada abad ke 19 antara poligenis (keyakinan bahwa setiap ‘ras’ mempunyai asal usul terpisah) dan monogenis (keyakinan bahwa manusia memiliki asal usul keturunan yang sama, dari adam atau dari makhluk yang disebut dengan kera). Gagasan demikian itu tidak hanya penting sebagai fakta sejarah, tetapi juga karena gagasan itu membentuk persepsi antropologi modern mengenai dirinya sendiri.

Antropologi di Eropa pada abad ke 18 ditandai oleh tiga pertanyaan penting yang diajukan untuk pertama kali dalam bentuk modern selama masa pencerahan di Eropa. Pertanyaan itu adalah:

  • Siapa yang mendefenisikan manusia dalam bentuk abstrak?
  • Apa yang membedakan manusia dari binatang?
  • Dan apa kondisi alamiah dari manusia itu?

Dari pertanyaan itu maka munculah ilmuwan dan tokoh-tokoh dalam pengembangan kehidupan manusia, sehingga disebut dengan ilmu antropologi yang kita kenal sampai sekarang.

Antropologi pada abad ke 19 dan abad ke 20, berkembang dalam arah yang lebih sistematik dan menggunakan peralatan metedologi ilmiah. Persoalan paradigma menjadi semakin penting karena masih mempertanyakan pertanyaan–pertanyaan diatas. Dan samapi saat sekarang ini para ilmuwan dan tokoh-tokoh masih mengembangkan pemikiran mereka dalam dunia ilmu antropologi ini.