Bentuk – Bentuk Sosialisasi

Proses sosialisasi mengantarkan kita pada bentuk-bentuk sosialisasi yang ada dalam kehidupan manusia di dalam masyarakat. Bentuk-bentuk sosialisasi yang ada itu antara lain adalah sosialisasi setelah masa kanak-kanak (socialization after chilhood), pendidikan sepanjang hidup (life long education), dan pendidikan berkesinambungan (continuing education).

 

Proses Sosialisasi

Dalam pembahasan mengenai sosialisasi, George Ritzer juga ikut menyumbangkan pemikirannya. Hal ini dimulai ketika Ritzer melihat pada tahapan siklus kehidupan manusia, dimana dia membaginya menjadi empat tahap yaitu :

Masa kanak-kanak

Kewajiban orang tua pada masa ini adalah untuk membentuk kepribadian anak-anaknya. Apa yang dilakukan orang tua pada anak di awal masa pertumbuhannya sangat menentukan kepribadian anak tersebut. Dengan kata lain, orang tua menjadi role model bagi anak-anaknya.

Proses sosialisasi pada tahap ini digambarkan melalui kerangka AGIL (Adaptation – Goal Attainment – Integration – Latent Pattern Maintenance) yang diperkenalkan oleh Talcott Parson dalam menganalisis tindakan-tindakan sosial. Dalam konsep ini, terbagi dalam tahap-tahap yang bersifat berkesinambungan.

Masa remaja

Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Remaja dalam gambaran yang umum merupakan suatu periose yang dimulai dengan perkembangan masa pubertas dan menyelesaikan pendidikan untuk tingkat menengah. Perubahan biologis yang membawanya ke usia belasan (teenagers) seringkali memengaruhi perilaku masa remaja.

Pada masyarakat pedesaan terkadang perlu untuk memperpanjang masa remaja. Hal ini biasanya terjadi pada kaum lelakinya. Perkawinan yang terlalu dini dianggap tidak bijaksana, karena akan menyebabkan lahan pertanian keluarga menjadi lebih sempit karena harus dibagikan kepada keluarga baru.

Strategi yang dilakukan biasanya adalah dengan menunda perkawinan sampai pada batas usia 20 atau 30 tahun. Para pemuda ini kemudian bekerja di pertanian orang tuanya dan diperlakukan seperti anak kecil (boys) sampai mereka cukup dewasa untuk memasuki usia perkawinan. Dalam sosialisasi terhadap remaja ada suatu gejala yang disebut ”reverse socialization”.

Masa dewasa

Ada tiga hal yang diharapkan terjadi pada masa ini yaitu bekerja, menikah dan memiliki anak. Dalam masa ini orang dewasa akan mengalami sosialisasi yang sifatnya lebih intensif, dan belum tentu sama dengan nilai dan norma yang telah diperolehnya pada masa sebelumnya. Dalam setiap lingkungan, orang dewasa harus bersikap sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Dalam hal ini memerlukan kesiapan yang lebih agar dapat menjalani proses sosialisasi dengan baik.

  1. Sosialisasi dalam dunia kerja
    Individu dewasa mulai beradaptasi dengan waktu kerja, dengan jenis pekerjaan, disiplin kerja, dan aturan-aturan kerja agar ia dapat diterima dalam lingkungan pekerjaan dan bertahan.
  2. Sosialisasi dalam perkawinan
    Dalam perkawinan pun setiap individu harus melewati proses belajar mengenal masing-masing pasangannya, mereka harus belajar untuk mengatasi masalah dua orangyang berbeda nilai dan orientasinya. Proses belajar dalam tahap ini sebetulnya bukan saja diperoleh ketika individu itu menikah, tapi juga bisa diperoleh ketika remaja, melalui pesan-pesan yang disampaikan oleh orang tuanya, seperti ” Bila kamu menikah nanti…” dan seterusnya. Selain orang tua, ada banyak pihak yang berpengaruh dalam sosialisasi tahap ini.
  3. Sosilisasi untuk menjadi orang tua bagi anak-anaknya
    Ketika individu dewasa mempunyai anak pun tetap mengalami proses belajar bagaimana peranan mereka menjadi orang tua dalam membesarkan dan merawat anak-anaknya. Agen sosialisasi dalam proses ini bisa orang tuanya sendiri atau teman sebayanya atau yang lainnya.

Masa tua dan menuju kematian

Seseorang belajar untuk menjadi orang usia lanjut seperti seseorang belajar untuk menjadi remaja. Menurut Eitzen, orang lanjut usia merupakan transisi dari orang dewasa produktif ke masa menuju kematian. Ketika seseorang mencapai usia lanjut mereka harus belajar bergantung kepada orang lain, belajar untuk tidak terlalu produktif dan menghabiskan sebagian besar untuk waktu-waktu santai.

Ketika seseorang berada pada usia lanjut, mereka diperlakukan seperti anak kecil, sampai akhirnya seorang individu yang sangat tua diperlakukan sebagai non person. Proses sosialisasi bagi orang lanjut usia dimulai secara perlahan-lahan. Biasanya mereka akan mulai menyadari bahwa mereka harus mengurangi jam kerja dan melakukan kegiatan santai.

Orang lanjut usia juga harus belajar bergantung pada orang lain setelah bertahun-tahun lamanya hidup mandiri bahkan menghidupi anak-anak mereka.

Pola – Pola Sosialisasi yang ada dalam Masyarakat

Menurut Jaeger, terdapat dua macam pola sosialisasi yang ada yaitu :

  1. Sosialisasi represif
    Sosialisasi tipe ini mengedepankan pada penggunaan hukuman terhadap kesalahan. Ciri lain yaitu penekanan pada penggunaan materi dalam hukuman dan imbalan, penekanan pada kepatuhan anak pada orang tua, penekanan pada komunikasi yang bersifat satu arah, nonverbal dan berisi perintah, penekanan titik berat sosialisasi pada orang tua dan keinginan orang tua, dan peran keluarga adalah sebagai significant other.
  2. Sosialisasi partisipatoris
    Merupakan pola yang didalamnya anak diberi imbalan di kala berperilaku baik, hukuman dan imbalan bersifat simbolis, anak diberi kebebasan, penekanan diletakkan pada interaksi, komunikasi bersifat lisan, anak menjadi pusat sosialisasi, keperluan anak dianggap penting, dan keluarga menjadi generalized others.

Pola sosialisasi lain yang dikemukakan oleh Elizabeth Hurlock adalah sebagai berikut :

  1. Otoriter
    Tingkah laku anak diatur secara kaku dan tidak ada kebebasan berbuat kecuali hal-hal yang sudah ditetapkan oleh peraturan. Orang tua tidak mendorong anaknya untuk mengambil keputusan sendiri tetapi menentukan apa yang harus dilakukan oleh anaknya. Setiap pelanggaran dikenakan hukuman. Hampir tidak pernah atau bahkan tidak pernah sama sekali anak diberikan pujian atau tanda-tanda membenarkan tingkah laku anak dalam melakukan sesuatu. Dengan demikian anak tidak memperoleh kesempatan untuk mengemdalikan perbuatannya.
  2. Demokratis
    Orang tua menggunakan diskusi, penjelasan dan alasan-alasan yangemembantu anak agar mengerti mengapa ia diminta mematuhi suatu aturan. Orang tua menekankan aspek pendidikan bukan hukuman. Hukuman tidak pernah kasar dan hanya diberikan apabila si anak dengan sengaja menolak perbuatan yang harusnya dia lakukan. Apabila anak melakukan perbuatan yang memang seharusnya ia lakukan mak diberikan pujian. Orang tua yang demokratis adalah orang tua yang berusaha menumbuhkan kontrol dari dalam anak sendiri.
  3. Permisif
    Orang tua bersikap membiarkan atau mengizinkan setiap tingkah laku anak.Pola ini ditandai dengan sikap orang tua yang membiarkan anaknya mencari dan menemukan sendiri tata cara yang memberikan batasan dari tingkah lakunya. Pada saat terjadi hal yang berlebihan barulah orang tua bertindak, sehingga pengawasan bersifat longgar.

Bentuk Bentuk Sosialisasi

Bentuk Sosialisasi Primer

Peter L. Berger dan Luckmann mendefinisikan sosialisasi primer sebagai sosialisasi pertama yang dijalani individu semasa kecil dengan belajar menjadi anggota masyarakat (keluarga). Sosialisasi primer berlangsung saat anak berusia 1-5 tahun atau saat anak belum masuk ke sekolah. Anak mulai mengenal anggota keluarga dan lingkungan keluarga.

Keluarga merupakan institusi yang pertama dikenal oleh anak dan bersifat permanen, yang artinya sosialisasi dalam keluarga itu akan terus berlangsung dalam kehidupan seseorang. Hubungan antar anggotanya akan terus terjalin sampai kapanpun itu.

Individu melalui agen sosialisasi keluarga memperoleh penanaman nilai dan norma sebagai bekal individu untuk memasuki dunia selanjutnya yang lebih luas, yaitu masyarakat. Nilai dan norma yang ia peroleh tersebut akan mempengaruhi tingkah laku anak dalam kesehariannya.

Contoh sosialisasi primer adalah ketika seorang bayi baru lahir, dia mulai bersosialisasi dengan kedua orang tua dan anggota keluarga lainnya. Sosialisasi primer disebut juga sosialisasi tahap pertama.

Bentuk Sosialisasi Sekunder

Sosialisasi sekunder adalah suatu proses sosialisasi lanjutan setelah sosialisasi primer yang memperkenalkan individu ke dalam kelompok tertentu dalam masyarakat. Salah satu bentuknya adalah resosialisasi dan desosialisasi. Dalam proses resosialisasi, seseorang diberi suatu identitas diri yang baru. Sedangkan dalam proses desosialisasi, seseorang mengalami ‘pencabutan’ identitas diri yang lama.

Individu setelah mengalami sosialisasi dalam keluarga, maka ia akan mengalami sosialisasi sekunder. Salah satu agen dari bentuk sosialisasi sekunder adalah sekolah. Sekolah merupakan sebuah institusi yang memberikan pengajaran dan pendidikan bagi masyarakat.

Saat belajar di sekolah terdapat berbagai macam tipe perilaku siswa. Siswa yang satu dengan yang lainnya memiliki sikap dan perilaku yang berbeda-beda. Hal tersebut bukan hanya cerminan dari proses pendidikan yang berlangsung di sekolah melainkan dipengaruhi pula oleh kehidupan keluarganya sebagai agen sosialisasi primer

Contoh sosialisasi sekunder antara lain: bermain di lingkungan sekolah, tertawa dengan teman di lingkungan bermain, maupun menghadiri rapat di lingkungan masyarakat.

Keluarga memiliki pengaruh yang cukup besar dalam terbentuknya perilaku siswa. Pola sosialisasi yang diterapkan di dalam keluarga oleh orang tua selaku aktor penting dalam keluarga memberikan dampak bagi terbentuknya suatu perilaku anak.

Setiap nilai dan norma yang di peroleh sejak kecil terinternalisasi dan terwujud dalam perilaku anak saat berada di sekolah. Dari banyaknya perilaku yang ada tersebut, dua diantaranya adalah perilaku introvert (tertutup) dan ekstrovert (terbuka).

Macam – Macam Sosialisasi Sekunder

Ada beberapa macam sosialisasi sekunder, antara lain :

Desosialisasi dan resosialisasi

Merupakan proses sosialisasi dimana seorang individu mengalami pencabutan diri yang dimilikinya, yang kemudian seseorang tersebut diberi suatu diri yang baru. Hal ini erat kaitannya dengan :

  1. Institusi total (total institutions)
    Goffman mengatakan bahwa institusi total merupakan suatu tempat tinggal dan bekerja yang di dalamnya sejumlah individu dalam situasi sama, terputus dari masyarakat yang lebih luas untuk suatu jangka waktu tertentu, bersama-sama menjalani hidup yang terkungkung dan diatur secara formal. Contoh yang dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari adalah rumah sakit jiwa (RSJ), lembaga pemasyarakatan (LP) dan sekolah kemiliteran. Setiap individu yang masuk ke dalam lembaga-lembaga tersebut akan mengalami pencabutan diri dari yang dimilikinya dan akan mendapat diri yang baru. Namun perbedaannya adalah apabila di masuk RSJ dan LP itu bukan berdasar pada kerelaan dan apabila keluar akan tetap mendapat stigma dari masyarakat atau lingkungannya. Sedangkan di sekolah kemiliteran (AKMIL, AAU, AAL, AKPOL), individu yang masuk kesana adalah berdasar faktor kerelaan dan menjalani pembinaan profesi untuk tujuan khusus, dan apabila keluar maka akan memiliki kebanggaan tersendiri sebagai mantan warga dari lembaga pendidikan tersebut.
  2. Cuci otak (brainwashing)
    Proses sosialisasi model ini biasanya menggunakan praktek penekanan baik fisik dan psikologis, yang kemudian pada akhirnya individu ini menaati segala perintah yang ditujukan kepadanya. Teknik yang digunakan dapat berupa teknik pengendalian terhadap pemikiran dan tindakan seperti isolasi, ancaman, siksaan, pembatasan tidur atau makanan para tahanan yang diarahkan untuk membuat pengakuan palsu, mengkritik diri mereka sendiri dan ikut serta dalam kegiatan propaganda musuh. Hal ini bisa dialami oleh para tahanan perang dan anggota dari kelompok teroris.

Sosialisasi antisipatoris (anticipatory socialization)

Merupakan suatu bentuk sosialisasi sekunder yang mempersiapkan seseorang untuk peran baru. Contoh yang ada dalam kehidupan bermasyarakat antara lain adalah menjelang saat kita beralih pendidikan menuju jenjang yang lebih tinggi (dari SMA ke Perguruan Tinggi), saat sekolah menuju dunia kerja, saat dunia kerja menuju ke kehidupan pensiun, atau dari seorang bujangan menjadi istri atau suami.

Saat-saat itu adalah saat kita harus mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya dalam menyongsong peranan baru. Namun apabila kita tidak jadi melakukan peran yang sudah kita persiapkan tersebut maka mau tidak mau kita harus kembali ke peranan yang sebelumnya.