Unsur Artistik Tari Piring

2.5/5 - (4 votes)

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia.

 

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karyaseni.

Pengertian Tari Piring

Tari Piring atau dalam bahasa Minangkabau disebut dengan Tari Piriang adalah salah satu seni tari tradisonal di Minangkabau yang berasal dari kota Solok, provinsi Sumatera Barat. Tarian ini dimainkan dengan menggunakan piring sebagai media utama. Piring-piring tersebut kemudian diayun dengan gerakan-gerakan cepat yang teratur, tanpa terlepas dari genggaman tangan.

Tarian ini memiliki gerakan yang menyerupai gerakan para petani semasa bercucuk tanam, membuat kerja menuai dan sebagainya. Tarian ini juga melambangkan rasa gembira dan syukur dengan hasil tanaman mereka. Tarian ini merupakan tarian gerak cepat dengan para penari memegang piring di tapak tangan mereka, diiringi dengan lagu yang dimainkan oleh talempong dan saluang.

Kadangkala, piring-piring itu akan dilontar ke udara atau pun dihempas ke tanah dan dipijak oleh penari-penari tersebut. Bagi menambah unsur-unsur estetika , magis dan kejutan dalam tarian ini, penari lelaki dan perempuan akan memijak piring-piring pecah tanpa rasa takut dan tidak pula luka. Penonton tentu akan berasa ngeri apabila kaca-kaca pecah dan tajam itu dipijak sambil menari.

Sejarah Tari Piring

Pada awalnya Tari Piring diperuntukkan buat sesembahan para dewa, dibarengi dengan penyediaan sesaji dalam bentuk makanan yang lezat-lezat. Tarian ini dibawakan oleh beberapa perempuan yang dengan penampilan khusus, berbusana indah, sopan, tertib, dan lemah lembut.

Dalam perjalanannya, orientasi atau tujuan sesembahan Tari Piring bergeser drastis. Ketika Islam datang, orientasi penyajian tidak lagi tertuju pada para dewa, namun dipersembahkan kepada para raja dan pejabat, khususnya saat ada pertemuan atau forum khusus dan istimewa lainnya. Selain itu, Tari Piring juga semakin populer dan tidak hanya dikonsumsi oleh kalangan elit tertentu.

Tidak cukup sampai disitu, perubahan orientasi terus dilakukan. Arti dan makna Tari Piring diartikan secara agak luas. Dalam konteks ini, raja tidak harus kepala negara atau pemimpin kekusaan politik pada rakyatnya, tapi bisa dianalogikan dengan sepasang pengantin. Sang pengantin adalah raja, yaitu “raja sehari”. Karena itulah tradisi Tari Piring kerap dipersembahkan dihadapan “raja sehari” (pengantin) saat bersanding dipelaminan dalam acara walimatul ‘arsy.

Mengenai waktu kemunculan pertama kali Tari Piring ini belum diketahui pasti, tapi dipercaya bahwa Tari Piring telah ada di kepulauan melayu sejak lebih dari 800 tahun yang lalu. Tari Piring juga dipercaya telah ada di Sumatra barat dan berkembang hingga pada zaman Sri Wijaya. Setelah kemunculan Majapahit pada abad ke 16 yang menjatuhkan Sri Wijaya, telah mendorong Tari Piring berkembang ke negeri-negeri melayu yang lain bersamaan dengan pelarian orang-orang Sri wijaya saat itu.

Fungsi Tari Piring

Tari Piring sendiri cukup beragam. Akan tetapi, pada umumnya tari Piring di Minangkabau ditampilkan pada upacara adat seperti pengangkatan penghulu, upacara perkawinan, khitanan, dan juga upacara setelah panen, yaitu upacara yang dilakukan bagi orang yang mampu karena panennya berhasil dengan baik.

Tujuan upacara ini dilakukan untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Allah SWT yang telah memberi rahmat dan rezeki dan bagi yang mempercayai mitos mereka akan mengucapkan syukur kepada dewi padi yang disebut dengan “Saning Sri”.

Dalam perkembangannya, pertunjukan tari Piring tidak hanya ditampilkan pada upacara adat saja melainkan ditampilkan juga untuk memeriahkan hari-hari besar lainnya, seperti peringatan hari kemerdekaan, pameran, festival, dan penyambutan tamu-tamu kenegeraan.

Makna dari Prosesi Tari Piring

Tari Piring dikatakan tercipta dari ”wanita-wanita cantik yang berpakaian indah, serta berjalan dengan lemah lembut penuh kesopanan dan ketertiban ketika membawa piring berisi makanan yang lezat untuk dipersembahkan kepada dewa-dewa sebagai sajian. Wanita-wanita ini akan menari sambil berjalan, dan dalam masa yang sama menunjukan kecakapan mereka membawa piring yang berisi makanan tersebut”.

Kedatangan Islam telah membawa perubahan kepada kepercayaan dan konsep tarian ini. Tari Piring tidak lagi dipersembahkan kepada dewa-dewa, tetapi untuk majlis-majlis keramaian yang dihadiri bersama oleh raja-raja atau pembesar negeri.

Keindahan dan keunikan Tari Piring telah mendorong kepada perluasan persembahannya dikalangan rakyat jelata, yaitu dimajlis-majlis perkawinan yang melibatkan persandingan. Dalam hal ini, persamaan konsep masih wujud, yaitu pasangan pengantin masih dianggap sebagai raja yaitu ‘Raja Sehari’ dan layak dipersembahkan Tari Piring di hadapannya ketika bersanding.

Seni Tari Piring mempunyai peranan yang besar di dalam adat istiadat perkawinan masyarakat Minangkabau. Pada dasarnya, persembahan sesebuah Tari Piring di majlis-majlis perkawinan adalah untuk tujuan hiburan semata-mata. Namun persembahan tersebut boleh berperanan lebih dari pada itu. Persembahan Tari Piring di dalam sesebuah majlis perkawinnan boleh dirasai peranannya oleh empat pihak yaitu; kepada pasangan pengantin kepada tuan rumah kepada orang ramai kepada penari sendiri.

Pada umumnya, pakaian yang berwarna-warni dan cantik adalah hal wajib bagi sebuah tarian. Tetapi pada Tari Piring, sudah cukup dengan berbaju Melayu dan bersamping saja. Warna baju juga adalah terserah kepada penari sendiri untuk menentukannya. Namun, warna-warna terang seperti merah dan kuning sering menjadi pilihan kepada penari Tari Piring kerana ia lebih mudah di lihat oleh penonton.

Pola Lantai dan Iringan Musik Tari Piring

Pola lantai yang dipergunakan dalam tari ini adalah lingkaran besat dan kecil, berbaris, spiral, horizontal, dan vertikal serta penempatan level bawah, leve sedang serta level atas ditambah dengan pembagian beberapa kelompok.

Berbagai macam gerak tari Piring tersebut dibagi ke dalam tiga fase, yaitu gerak awal yang terdiri atas gerak pasambahan dan singanjuo lalai. Bagian tengah terdiri atas gerak mencangkul sampai gerak menampih padi, dan bagian akhir terdiri atas gerak menginjak pecahan kaca.

Alat musik yang digunakan untuk mengiringi tari Piring adalah talempong, gandang, seruling, dan jentikan jari penari terhadap piring yang dipegang.

Unsur Artistik Tari Piring

Ragam gerak tari Piring ini dilakukan di atas pecahan kaca. Gerakan-gerakan tersebut adalah sebagai berikut.

  1. Gerak pasambahan
    Gerak yang dibawakan oleh penari pria bermakna sembah syukur kepada Allah
    Swt. serta permintaan maaf kepada penonton yang menyaksikan tari ini agar terhindar dari kejadian-kejadian yang dapat merusak jalannya pertunjukan.
  2. Gerak singanjuo lalai
    Gerak ini dilakukan oleh penari wanita yang melambangkan suasana di hari
    pagi, dilakukan dengan gerakan-gerakan lembut.
  3. Gerak mencangkul
    Gerak ini melambangkan para petani ketika sedang mengolah sawah.
  4. Gerak menyiang
    Gerak ini menggambarkan kegiatan para petani saat membersihkan sampah sampah yang akan mengganggu tanah yang akan digarap.
  5. Gerak membuang sampah
    Gerak ini menggambarkan tentang bagaimana para petani mengangkat sisa-sisa sampah untuk dipindahkan ke tempat lain.
  6. Gerak menyemai
    Gerak ini melambangkan bagaimana para petani menyemai benih padi yang
    akan ditanam.
  7. Gerak memagar
    Gerak ini menggambarkan para petani dalam memberi pagar pada pematang sawah agar tehindar dari binatang liar.
  8. Gerak mencabut benih
    Gerak ini menggambarkan bagaimana mencabut benih yang sudah ditanam.
  9. Gerak bertanam
    Gerak ini menggambarkan bagaimana para petani memindahkan benih yang telah dicabut.
  10. Gerak melepas lelah
    Gerak ini menggambarkan bagaimana para petani beristirahat melepas lelah
    sesudah melaksanakan pekerjaan mengolah sawah.
  11. Gerak mengantar juadah
    Mengantar juadah ini berarti mengantar makanan kepada para petani yang
    telah mengolah sawah.
  12. Gerak menyabit padi
    Gerak ini dibawakan oleh penari pria yang menggambarkan bagaimana para petani di sawah pada saat menyabit padi.
  13. Gerak mengambil padi
    Gerak ini dibawakan oleh penari wanita saat mengambil padi yang telah dipotong oleh penari pria.
  14. Gerak manggampo padi
    Gerakan yang dilakukan dalam hal mengumpul padi dan dibawa ke suatu tempat.
  15. Gerak menganginkan padi
    Gerak ini menggambarkan padi yang telah dikumpulkan untuk dianginkan dan nantinya akan terpisah antara padi dan ampas padi.
  16. Gerak mengirik padi
    Gerak yang menggambarkan bagaimana para petani mengumpulkan padi dan menjemurnya.
  17. Gerak membawa padi
    Gerak yang dilakukan para petani saat membawa padi untuk dibawa ke tempat lain.
  18. Gerak menumbuk padi
    Gerak yang dilakukan untuk menumbuk padi yang telah dijemur dilakukan oleh pria, sedangkan wanita mencurahkan padi.
  19. Gotong royong
    Gerak yang dilakukan secara bersama yang melambangkan sifat kegotongroyongan.
  20. Gerak menampih padi
    Gerakan yang menggambarkan gerakan bagaimana para petani menampih padi yang telah menjadi beras.
  21. Gerak menginjak pecahan kaca
    Penggabungan dari berbagai gerak dan diakhiri oleh penari menginjak-injak pecahan kaca yang dilakukan dengan atraktif dan ditambah dengan beberapa gerak-gerak improvisasi penari.