Perkembangan Kepercayaan Pada Manusia Purba

Untuk menyebut suatu agama yang sering dianut oleh suku-suku bangsa, seperti di Indonesia biasanya menggunakan istilah kepercayaan asli. Dalam kehidupan keagamaan di Indonesia, kepercayaan asli sering disebut “agama asli”, “agama suku”, atau “religi”. Pada tiap-tiap suku bangsa, kepercayaan asli itu berkembang bebas dan berdiri sendiri. Munculnya suatu kepercayaan biasanya dilatarbelakangi oleh kesadaran adanya jiwa yang bersifat abstrak. Di dalam pikiran manusia jiwa itu ditransformasikan menjadi makhluk-makhluk halus atau roh halus.

 

Mereka percaya bahwa makhluk-makhluk itu berada di sekeliling tempat tinggal manusia. Dalam kehidupan manusia, makhluk halus itu mendapat perlakuan istimewa dan tempat yang sangat penting yang kemudian dijadikan objek-objek pemujaan. Sementara itu, suatu kepercayaan dapat juga muncul karena getaran jiwa atau emosi, yang muncul karena kekaguman manusia terhadap hal-hal yang luar biasa. Kekuatan itu tidak dapat diterangkan oleh akal, dan berada di atas kekuatan manusia. Kekuatan itu dikenal dengan kekuatan adikodrati.

Jenis Kepercayaan Manusia Purba Indonesia

Jenis dan sistem kepercayaan manusia sudah tumbuh dan berkembang sejak lama. Hal ini terbukti dengan banyaknya ditemukan bangunan-bangunan megalitik atau purba yang masih berkaitan erat dengan aspek kepercayaan.

Dalam perkembangannya, sistem kepercayaan ini tidak muncul dengan sendirinya namun terjadi karena proses dan tanda-tanda yang dilihat oleh manusia bahwa ada kekuatan dan kekuasaan lain yang jauh lebih besar diluar batas manusia. Hal inilah yang kemudian muncul berbagai kepercayaan-kepercayaan yang berkembang di percayai oleh masyarakat.

Kepercayaan Terhadap Roh Nenek Moyang

Perkembangan sistem kepercayaan pada masyarakat Indonesia berawal dari kehidupan masyarakat berburu dan mengumpulkan makanan. Masyarakat pada masa berburu dan mengumpulkan makanan, selalu hidup berpindah-pindah untuk mencari tempat tinggal yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, dalam perkembangannya, mereka mulai berdiam lama/tinggal pada suatu tempat, biasanya pada goa-goa, baik ditepi pantai maupun pada daerah pedalaman.

Pada goa-goa itu ditemukan sisa-sisa budaya mereka, berupa alat-alat kehidupan. Kadang-kadang juga ditemukan tulang belulang manusia yang telah dikuburkan di dalam goa-goa tersebut. Dan hasil penemuan itu dapat diketahui bahwa pada masa itu orang sudah mempunyai pandangan tertentu mengenai kematian. Orang sudah mengenal penghormatan terhadap orang yang sudah meninggal.

Orang mulai memiliki suatu pandangan bahwa hidup tidak berhenti setelah orang itu meninggal. Orang yang meninggal dianggap pergi ke suatu tempat yang lebih baik. Orang yang sudah meninggal masih dapat dihubungi oleh orang yang masih hidup di dunia ini dan begitu pula sebaliknya. Bahkan apabila orang yang meninggal tersebut merupakan orang yang berpengaruh maka diusahakan agar selalu ada hubungan untuk dimintai nasehat atau perlindungan, bila ada kesulitan dalam kehidupan di dunia. Inti kepercayaan terhadap roh nenek moyang terus berkembang dan zaman ke zaman dan secara umum dilakukan oleh setiap masyarakat di dunia.

Orang mulai berpikir bahwa orang yang meninggal berbeda dengan orang yang masih hidup. Pada orang yang meninggal ada sesuatu yang pergi, sesuatu itulah yang kemudian disebut dengan roh. Penguburan kerangka manusia di dalam goa-goa merupakan wujud penghormatan kepada orang yang meninggal, penghormatan kepada orang yang telah pergi atau penghormatan kepada roh.

Berdasarkan hasil peninggalan budaya sejak masa bercocok tanam berupa bangunan-bangunan megalitikum dengan fungsinya sebagai tempat-tempat pemujaan atau penghormatan kepada roh nenek moyang, maka diketahui bahwa masyarakat pada masa itu sudah menghormati orang yang sudah meninggal. Di samping itu, ditemukan pula bekal kubur. Pemberian bekal kubur itu dimaksudkan sebagai bekal untuk menuju ke alam lain. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebelum masuknya pengaruh Hindu-Budha, masyarakat Indonesia telah memberikan penghormatan dan pemujaan kepada roh nenek-moyang.

Animisme

Pada zaman pra sejah ini kepercayaan yang di anut adalah animism yanitu kepercayaan animism yaitu mereka percayaan bahwasanya roh orang yang telah meninggal masih ada di sekeliling mayat, dan mereka masih membutuhkan seperti semasa hidupnya, sehingga dapat di maklumi jika jasadnya tetap utuh, karena mayat di tempatkan di dalam rumah-rumah batu gar tidak di ganggu oleh binatang buas.

Rumah batu ini banyak terdapat di daerah-daerah Tanjung Aro Gunung Megang, dan Tegur Wangi ketika di lakukan penggalian-penggalian oleh penduduk setempat pada masa pendudukan jepang, dan di temukan pula manik-manik yang berwarna warni. Akan tetapi tidak di temukan sisa-sisa tulang belulang.

Pohon yang besar, sungai yang lebar, gunung dan bukit, di anggap mempuyai penunggu (mahluk-mahluk halus) yang dapat mencelakan seseorang apabila dia melakukan hal yang tidak baik. Puncak dempo misalnya di beri sajian-sajian oleh oarng-orang tertentu, sebagai warisan masa pra sejrah yang mempercai hal tersebut. Bahwa di luar manusia masih ada mahluk halus yang dapat menguasai. Keyakinan akan adanya dunia arwah terlihat dari arah penempatan kepala mayat yang diarahkan ke tempat asal atau tempat bersemayamnya roh nenek moyang.

Tempat yang biasanya diyakini sebagai tempat roh nenek moyang adalah arah matahari terbit atau terbenam dan tempat-tempat yang tinggi misalnya, gunung dan bukit. Bukti-bukti mengenai hal itu terlihat dari hasil penggalian kuburan-kuburan kuna di beberapa tempat, seperti Bali dan Kematian, menunjukkan arah kepala mayat selalu ke arah timur atau barat atau kepuncak-puncak gunung dan bukit.

Praktik-praktik kepercayaan animisme terlihat dalam upacara penyelenggaraan upacara-upacara yang berhubungan dengan kematian. Penyelenggaraan upacara kematian dilandasi dengan kepercayaan bahwa suatu kematian itu pada dasarnya

tidak membawa perubahan dalam kedudukan, keadaan, dan sifat seseorang. Dengan landasan itu, penguburan mayat selalu disertai dengan bekal-bekal kubur dan wadah mayat yang disesuaikan kedudukannya, agar kedudukan si mati dalam alam arwah sama seperti ketika masih hidup.

Inti kepercayaan tersebut adalah pemujaan dan perhormatan kepada roh orang yang telah meninggal, terutama penghormatan dan pemujaan terhadap roh nenek moyang. Di dalam gua-gua ditemukan kerangka manusia yang telah dikuburkan. Temuan semacam ini sangat penting untuk meneliti adat mengubur mayat dengan kepercayaan yang mereka anut. Para sejarawan berkesimpulan bahwa pada masa itu orang sudah mempunyai kepercayaan tertentu mengenai kematian.

Tradisi mendirikan bagunan-bangunan megalithikum selalu berhubungan dengan kepercayaan akan adanya hubungan antara yang hidup dengan yang telah mati (mega berarti besar, lithos berarti batu). Terutama kepercayaan kepada adanya pengaruh yang kuat dari orang yang telah meninggal terhadap kesejahteraan masyarakat dan kesuburan tanaman. Bangunan-bangunan batu besar yang didirikan menjadi medium penghormatan.

Dinamisme

Kepercayaan dinamisme mengalami perkembangan yang tidak jauh berbeda dengan kepercayaan animisme. Dinamisme merupakan suatu kepercayaan bahwa setiap banda memiliki kekuatan gaib. Sejak berkembangnya kepercayaan terhadap roh nenek moyang pada masa kehidupan masyarakat bercocok tanam, maka berkembang pula kepercayaan yang bersifat dinamisme. Perkembangan kepercayaan dinamisme ini, juga didasari oleh suatu pengalaman dan masyarakat bersangkutan.

Pengalaman-pengalaman itu terus berkembang secara turun temurun dan generasi ke generasi hingga sekarang mi. Misalnya, sebuah batu cincin dipandang mempunyai kekuatan untuk melemahkan lawan. Sehingga apabila batu cincin itu dipakai, maka lawan-lawannya tidak akan sanggup menghadapinya.

Selain itu terdapat pula benda pusaka seperti keris atau tombak yang dipandang memiliki kekuatan gaib untuk memohon turunnya hujan, apabila keris itu ditancapkan dengan ujungnya menghadap ke atas akan dapat menurunkan hujan. Kepercayaan seperti ini mengalami perkembangan, dan bahkan hingga sekarang ini masih tetap dipercaya oleh sebagian masyarakat.

Kepercayaan bahwa semua benda mempunyai kekuatan gaib, seperti gunung batu, dan api. Bahkan benda-benda buatan manusia diyakini juga mempunyai kekuatan gaib seperti patung, keris, tombak, dan jimat. Sesungguhnya proses pembuatan benda-benda megalitik, seperti menhir, arca, dolmen, punden berundak, kubur peti batu, dolmen semu atau pandhusa, dan sarkofagus dilandasi dengan kayakinan bahwa di luar diri manusia ada kekuatan lain.

Dilandasi anggapan bahwa menhir atau arca, sebagai lambang dan takhta persemayaman roh leluhur, kedua jenis peninggalan itu digunakan sebagai sarana pemujaan terhadap roh nenek moyang. Dolmen dan punden berundak digunakan untuk tempat upacara. Pendirian punden berundak juga berdasarkan atas arah mata angin yang diyakini memiliki kekuatan gaib atau tempat-tempat yang dianggap sebagai tempat bersemayamnya roh nenek moyang.

Monoisme

Monoisme adalah kepercayaan manusia purba terhadap Tuhan Yang Maha Esa, merupakan kepercayaan yang banyak di anut oleh masyarakat Indonesia bahkan di dunia. Masyarakat itu percaya bahwa ada suatu kekuatan atau pemilik kekuasaan langit dan bumi.

Pola pikir masyarakat pun berubah, mereka sadar bahwa di balik indahnya alam semesta ada penciptanya. Kepercayaan monoisme saat ini bisa dikategorikan dalam beberapa agama seperti Islam, Kristen dan lain sebagainya.

Kepercayaan jenis ini memiliki perbedaan yang cukup signifikan dibanding dengan kepercayaan dengan sifat yang lainnya. Karena monoisme memiliki perkembangan akal dan pola fikir manusia purba yang tertuju pada ke-Esaan Tuhan. Jenis dan kepercayaan manusia purba yang satu ini tentunya memiliki pendasaran yang cukup kuat menurut pengalaman maupun pandangan -pandangan yang mengacu pada perkembangan pola pikir kepercayaan manusia purba saat itu.

Mereka mulai berfikir secara dalam mengenai apa yang mereka alami dan kemudian mempertanyakan siapa yang telah menciptakan alam dan seisinya, siapa yang memberi hidup dan mematikan hidup manusia. Karena terus bergejolaknya pemikiran yang cukup berat seperti ini akhirnya muncul kesimpulan bahwa seutuhnya kekuatan maha besar dan maha tinggi yang tidak ada tandingannya adalah miliki Tuhan Yang Esa.

Totemisme

Tothemisme adalah kepercayaan terhadap binatang atau hewan yang dianggap memiliki kekuatan yang jauh lebih besar dan kuat dibanding manusia seperti Gajah, Badak, Harimau, Singa dan lain sebagainya. Masyarakat menganggap bahwa binatang tersebut juga melindungi dan menjaga kehidupan mereka.

Kepercayaan atas dasar keyakinan bahwa binatang-binatang tertentu merupakan nenek moyang suatu masyarakat atau orang-orang tertentu. Binatang-binatang yang dianggap sebagai nenek moyang antara orang yang satu dengan orang atau masyarakat yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda. Biasanya binatang-binatang yang dianggap nenek moyang itu, tidak boleh diburu dan dimakan, kecuali untuk keperluan upacara tertentu. Apabila ada yang melanggar maka akan ada hukuman dan kutukan yang akan diterima oleh si pelaku.